Mengenai Saya

Foto saya
Yogyakarta, D.I.Yogyakarta, Indonesia
memuat karya random para personil klub Rabu FLP Yogyakarta: Ashif, Bunda, Dyah, Whisnu, Sobat, Ana, Dwi, Rizko, dan Lido.

Rabu, 29 Desember 2010

Integral Garis Sholat

Ashif A. Fathnan

Kita memang harus mentransformasikan nilai-nilai Islam pada diri kita masing masing, sehingga tatanan Islam dapat tumbuh dari aspek mikro, Integral dari keseluruhan nilai Islam yang tertanam dalam diri individu inilah yang akan membentuk sebuah bangunan Islam yang kokoh, karena ia dibangun dari bata-bata pilihan, disusun dengan runtun yang rapi dan saling melekat dengan semen yang sangat rekat.



Saya pernah membayangkan sholat sebagai sebuah integral garis dalam grafik kurva bola. Meminjam istilah dari ilmu kalkulus, bahwa lingkaran sempurna tersusun dari garis-garis lurus sangat pendek yang menyatu dalam sebuah instruksi yang sama dengan arah tegak lurus pada satu titik, maka jadilah lingkaran. Begitu pula bola. Ia tersusun dari bidang-bidang datar kecil yang pada kondisi mikro akan terlihat lurus datar, akhirnya secara integral kita akan melihatnya dalam bentuk yang bulat, melengkung = bola. Faktanya, kita melihat tanah yang kita pijak ini datar, padahal dalam ruang makro, integral dari keseluruhan tanah, kita melihat bumi yang bulat, seperti bola, bukan persegi atau balok.

Bagaimana sholat yang kita lakukan sehari-harinya adalah pula membuktikan teori grafik kurva bola. Sholat, dalam shaf-shaf yang lurus, adalah hanya merupakan sebuah garis lurus, dari jutaan garis lurus lain yang dibuat umat Islam dalam ibadahnya. Garis ini, tegak pada satu titik, ka’bah, pusat ditujunya arah shalat. Bisa anda bayangkan, sholat di seluruh penjuru bumi ini, dengan shaf-shaf yang rapi-lurus – karena memang demikian rasul mengajarkannya – akan membuat sebuah garis yang melingkar, mengelilingi bumi. integralkan dalam suatu variabel, akan ditemukan lingkaran yang berlapis-lapis, seperti garis kontur dalam sebuah peta buta. Lingkaran ini akan semakin terlihat saat jarak ka’bah dengan orang yang sholat semakin dekat, terbukti, kita sering melihatnya di foto-foto birdview ka’bah saat musim haji, yang bentuknya mirip dengan galaksi bimasakti. Melingkar, melengkung, bukan lurus seperti awalnya.

Lingkaran yang mengelilingi ka’bah ini tentu saja akan membuat sebuah kutub di mana seluruh manusia di penjuru dunia mengarahkan wajahnya saat sholat. Lingkaran-lingkaran manusia yang mengelilingi ka’bah juga tentu saja akan semakin lebar diameternya, dengan jarak yang semakin jauh dengan ka’bah. Namun, pada akhirnya garis ini akan kembali mengecil, karena bentuk bumi yang bulat. Dan pada akhirnya akan menuju satu titik, yaitu antikutub dari ka’bah, titik dimana jika kita tarik garis lurus yang menembus tanah di bawah ka’bah akan menemukan tanah lagi di ujung lain bumi. Percaya atau tidak, di tanah ini, arah sholat bisa menghadap ke mana saja, karena memang semua arah akan menghadap ka’bah. Saya merinding jika membayangkan kebenaran ayat-ayat alQur’an.


Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, Maka kemanapun kamu menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha luas (rahmat-Nya) lagi Maha Mengetahui. (al Baqarah : 115)

Itulah mengapa kita temukan rahasia di balik syariat sholat untuk kaum Muhammad adalah boleh di atas tanah sekalipun. Bahkan di atas kapal dan kendaraan tetap diwajibkan sholat. Saat berada dalam kondisi kehilangan arah, maka sholat bisa kea rah mana saja. Karena sholat ini menjaga bumi, memelihara bumi di tiap jengkalnya, menghindarkan kemaksiatan tegak meski di satu titik di kurva bola dunia. Tak diperkenankan tegaknya maksiat saat wilayah itu berdiri tegak para orang yang shalat,
Innassholaata tanhaa anil fahsyaai walmunkar…

Dan yang lebih luar biasa adalah shalat merupakan ibadah yang sustainable, tak pernah berhenti meski sedetikpun. Itu terbukti saat kita melihat shalat dalam sisi makro, integral dari seluruh shalat di dunia. Jika di suatu tempat telah usai shalat maghrib, maka di tempat lain shalat maghrib baru saja dimulai, dan di tempat lain shalat maghrib baru akan dimulai. Saat di suatu tempat memulai shalat, di tempat lain sedang bersiap-siap untuk mulai shalat. Begitu terus berputar.

Saat makna ini kita transformasikan dalam kehidupan keIslaman kita secara utuh, maka usailah segala permasalahan umat. Rasulullah melalui wahyu Allah, mengajarkan nilai-nilai universal dalam tiap ibadah yang menjadi syariat. Saat nilai ini dimaknai dengan lebih dalam, maka perpecahan umat saat ini akan benar benar tuntas. Karena saat ini umat tak berkiblat pada satu tujuan, tak bergerak dalam shaf yang rapid an tidak menumbangkan maksiat meski telah ditegakkan shalat.

http://www.eramuslim.com/oase-iman/ashif-aminulloh-fathnan-integral-garis-sholat.htm

Selasa, 21 Desember 2010

tulisan Ana lagiiiii....

D.I.L.A.R.A.N.G P.R.O.T.E.S
Entahlah,
Apa dari maksud semua ini
Mengapa aku memiliki indera ini
Indera pembaca hati, paradigma tersembunyi

* * *






Dari grafik di atas, dapat diketahui bahwa sediaan Suppositoria menggunakan basis PEG memiliki kemampuan disolusi/ pelepasan obat lebih baik dibandingkan dengan basis Oleum cacao. Hal ini karena kelarutan PEG dalam media disolusi …
* * *



(a) (b)
Gambar 1: Struktur epinefrin (a); Struktur norepinefrin (b)
Epinefrin dan norepinefrin adalah hormon yang disekresikan oleh glandula adrenal dan disintesis dari prekursornya tyrosin dengan bantuan beberapa enzim yaitu tirosin hidroksilase, dopadekarboksilase dan dopamine  hidroksilase. …
* * *
If we talk about the election of governor Yogyakarta, we could said that the speciality of Yogyakarta must be eternal which is see outomatis the governor of Yogyakarta must be from the kindship of Kraton Yogyakarta, that is our king, Sultan Hamengku Bowono X. …
* * *
Masih belum jelas apakah pemerintah Indonesia mencanangkan compulsory education (wajib belajar) atau universal education (pendidikan dinikmati semua anak di semua tempat). Kedua hal ini jelas sangat berbeda, seperti yang telah dijelaskan pada keputusan internasional, Declaration on Education for All di Jomtien, Thailand, tahun 1990, menegaskan bahwa …
* * *
Pada bulan Maret dan April 2009, salah satu dari wabah influenza H1N1 di Meksiko menyebabkan ratusan kasus dan jumlah kematian. Virus influenza A subtype H1 merupakan subtype dari influenza virus J dan yang paling umum yang menyebabkan influenza pada manusia. …
* * *
Aku biarkan kau sendirian, supaya kau tahu bagaimana rasanya sendirian tanpa aku. Seperti aku yang sendirian tanpa kau. Aku senang mendengarmu memanggil orang lain dengan namaku. Supaya kau juga merasakan betapa malunya aku saat memanggil orang lain dengan namamu. …
* * *
Kalian tahu, aku sama sekali tak berniat menuliskan hal ini, karena selain terkesan melebih-lebihkan diriku sendiri, tulisan seperti ini juga biasanya tidak memiliki akhir yang diputuskan dengan jelas. Tentu saja itu bukan salah kalian. Kesalahan 100% muncul dari dalam diriku sendiri.
Suatu hari, saat aku mengayuh sepedaku dalam senja sepulang kuliah. Aku memikirkan sesuatu yang jujur saja cukup mengganjal di pikiranku. Bagaimana tidak? Beberapa hari yang lalu, seorang temanku memberi sebuah instruksi bahwa aku harus menulis tentang cita-citaku atau kurang lebih tentang mimpi yang aku miliki. Dan mulai saat itu, aku merasa hidupku kurang nyaman. Karena mulai saat itu, aku berpikir, untuk apa aku kuliah? Untuk apa aku mendalami dunia tulis menulis? sebenarnya apa cita-citaku? Apa yang aku impikan?
Menurutku kata “cita- cita” atau kata “impian” bukanlah sesuatu yang main-main. Aku bertekad untuk menuliskan itu dengan benar. Dengan akhir yang bisa aku putuskan. Umumnya, aku tidak terlalu memiliki ambisi berlebihan seperti ingin menduduki jabatan tertentu, memiliki gaji dengan jumlah tertentu. Huh, rasanya tidak ada ambisi yang besar untuk itu, rasanya hanya ingin menjadi seseorang yang sederhana, bahagia di dunia dan akhirat dengan terus berguna bagi orang lain. Sayangnya, impian yang seperti itu terlalu klise, terlalu biasa, dimiliki semua orang, dan aku tak bisa menuliskan impian yang seperti itu lagi. Harus yang lebih spesifik!
Setelah aku pikirkan, aku bisa jadi apapun yang aku mau. Kuliah di Jurusan Farmasi Industri sebuah Universitas terkemuka di negeri ini membuka peluang yang cukup besar untuk bekerja di perusahaan asing atau pun lokal, tentunya dengan gaji di atas lima juta per bulan. Aku bisa membayangkan tipe pekerjaanku di perusahaan nantinya. Bekerja dengan shift pagi, sore atau malam, menjadi kepala bagian produksi atau Quality Control. Bisa juga bekerja selama 24 jam sebagai kepala bagian marketing yang memiliki jadwal sesuai klien dan kebutuhan, berdandan rapi dan membawa mobil mewah kemana-mana. Atau jika ingin mengabdi pada negeri ini, aku bisa menjadi pegawai negeri sipil di BPOM dan rumah sakit dengan gaji yang cukup besar dan terjamin.
Aku juga memiliki kemampuan yang cukup hebat di dunia jurnalistik. Redaksi sebuah majalah selama empat tahun menjadikan reportase dan menulis artikel bukan lagi sesuatu yang menakutkan bagiku. Jika dilihat dari kemampuan menulis fiksi, aku memang masih belajar, tapi rasanya kemampuan itu makin hari makin tajam kuasah dalam cerpen-cerpen yang kubuat. Bukankah aku juga bisa menjadi seorang penulis di majalah atau menuliskan sebuah novel? Pekerjaan ini juga cukup menjanjikan jika aku mau fokus terjun ke dunianya. Dalam hal ini bukan lagi masalah uang, tapi tantangan yang sangat menggairahkan menunggu di dalamnya.
Pengusaha. Kata-kata ini cukup menggiurkan. Aku bukanlah orang yang buta tentang dunia usaha dan bisnis. Aku pernah mencoba membuka usaha kreatif yang cukup komersil sewaktu kuliah, awalnya cukup berjalan dengan baik, sebelum akhirnya sempat macet karena dijalankan oleh para mahasiswa yang mau tidak mau terbentur KKN (Kuliah Kerja Nyata) di luar Pulau Jawa. Sebenarnya tidak terlalu sulit, apalagi dengan gelar Apoteker yang akan aku sandang, sangat mungkin utnuk mendirikan sebuah apotek yang memiliki cabang di mana-mana. Usaha itu hanya butuh tekad kuat dan tahan banting. Keuntungan finansial yang diperoleh juga tak kalah banyak, semua diatur sendiri. Tantangannya juga cukup berwarna, walaupun di akhirat kupikir tak terlalu mudah. Aku pasti bisa menjadi seorang pengusaha sukses dengan semangat yang aku miliki, jika aku mau?
Menggiurkan jika membayangkan semua itu, tapi aku bertanya pada aku yang sebenarnya? Maksudku, “Aku yang tanpa hawa nafsu memiliki banyak harta”. Jika bertanya pada “Aku yang tanpa hawa nafsu memiliki banyak harta”, aku berpikir bahwa aku ingin sekali hidup sederhana dan bahagia. Semua orang pasti mau seperti itu, tapi lebih spesifik lagi adalah, aku hanya ingin menjadi seorang ibu rumah tangga. Dengan seorang suami dan tiga anak lelaki.
Memiliki sebuah rumah kayu yang indah di daerah pegunungan. Menghirup udara segar setiap hari. Menyapu halaman berumput, mengepel lantai kayu. Menyiapkan sarapan. Melihat senyum semua orang di meja makan, dan menunggu mereka pulang dari tempat mereka beraktifitas. Memiliki kebun yang bisa aku rawat dan aku petik buahnya, memiliki kolam ikan dengan gazebo di depannya, tempat aku dan keluargaku sering makan bersama. Menjadi ibu yang bisa mengamati pertumbuhan anak-anakku, menemani mereka belajar, memberikan contoh sikap yang baik bagi mereka. Memiliki keluarga yang sempurna, berkecukupan dunia dan berlimpah pula di akhirat.
Kalian tahu, membayangkan itu lebih menggiurkan bagiku. Hmmm… tapi sekali lagi aku ingatkan pada kalian. Itu semua hanya impian. Impian yang sebenarnya aku tanam dalam-dalam. Mengapa? Karena aku tahu semua itu hanya memiliki peluang 1% terwujud dalam dunia nyataku. Sedangakan hidup yang aku katakan pada bagian lebih awal tadi, memiliki peluang lebih besar untuk terwujud. Atau mungkin tidak akan terwujud keduanya, jika kau mati. Tapi aku tidak akan membahas kematian dalam tulisan ini.
Aku, terutama oleh mamaku, telah dididik sejak kecil untuk bekerja keras. Apalagi jika teringat dengan nasihat Mama, “Perempuan itu harus punya penghasilan sendiri! Nggak boleh hanya minta suami!”. Aku hanya tidak ingin mengecewakan Mama akan impianku yang terakhir tadi. Untuk itu, aku memendamnya dalam list impian yang paling bawah. Aku harus memiliki penghasilan sendiri yang cukup besar, agar aku bebas memberikan uangku pada orang tua. Membiayai kenaikan haji mereka, membuatkan rumah yang nyaman jauh dari keramain kota untuk masa tua mereka, membelikan kebun yang bisa mereka rawat di waktu pensiun mereka. Apakah semua itu tetap bisa aku lakukan tanpa penghasilan yang aku miliki sendiri?
Inilah aku saat ini, melihat dunia nyata yang tak seindah impianku. Mengejar nilai yang sangat baik di bangku kuliah, mengasah bakat yang aku miliki, memperluas jaringan bisnis. Untuk mewujudkan apa yang aku percaya bisa aku wujudkan. Impianku itu, biarlah tetap ada dalam daftar yang terakhir, tidak boleh protes, kuharap ini yang menjadi keputusanku, jalan hidupku.

Triana Candraningrum
Pusat Kota Yogyakarta, 2010.

Antara Ending dan Dramatisasi

Reveiw Kumcer Vulkano
Ashif A. Fathnan

1. Serangga : Antara Ending dan Dramatisasi.

Serangga adalah cerpen surealis yang menarik tentang kehidupan kutu buku dalam makna konotatif dan kutu itu sendiri dalam makna sesungguhnya: rayap.

Dramatisasi, alur dan penokohan sangat mendominasi cerpen ringkas ini. Sang tokoh utama, aku diceritakan adalah pencinta dan penggila buku, yang sepertinya memang terlahir demikian. Ayah dan ibunya yang adalah pencinta buku memberikan warisan beratus buku di rumahnya. Dan tentu ini membuat anaknya tidak hanya harus membaca semua buku itu namun juga merawatnya.

Permulaan konflik ini sungguh cantik, diawali dengan hal yang sangat tidak terduga, dan masuk pada inti permasalahan secara langsung : rayap. Siapapun yang membaca dengan penghayatan akan merasaakan pula bagaimana pedihnya mengurusi buku tercinta dan menanggulangi rayap yang tanpa dosa itu. Sama dalam cerita ini, perjuangan diwujudkan dengan melindungi buku dari rayap dengan kapur barus, dan kemudian alat penyemprot serangga. Dramatisasi yang dimunculkan memberikan kesan bahwa sang aku sangat mencintai buku dan berjuang untuknya. Sampai tahap ini penulis sukses besar.

Namun, setelah masuk ke bagian konflik fisik, dimana sang aku harus berhadapan dengan rayap dengan menggunakan obat semprot, saya tidak menemukan dramatisasi itu sesuai dengan imajinasi saya. Ini terlalu cepat dan malah antiklimaks. Apalagi setelah itu yang terjadi hanya ada korban di pihak rayap dan di pihak kita adalah korban buku. Setelah itu? Sudah. Hanya diakhiri dengan teriakan tak jelas sang aku yang meratapi bukunya yang lagi-lagi diserang rayap.

Tidak. Ini bukan ending yang baik menurut saya. Seharusnya untuk menjadikan cerpen ini betul-betul surealis cerita tidak berhenti sampai di situ. Sang tokoh aku perlu lebih menggali konflik fisik dengan sang tokoh rayap. Apakah itu dengan cara tiba-tiba secara imajinasi surreal, sang rayap malah membesar dan berkata-kata seperti manusia setelah disemprot, sehingga terjadi pertukaran pikiran antara rayap dengan sang tokoh aku, ataukah dengan membuat sang tokoh aku mejadi kerdil dan hidup di antara jutaan rayap yang mengelilinginya. Ini butuh dieksplorasi. Kejadian surreal ini perlu digali untuk melengkapi cerpen menjadi benar-benar menggugah.

Namun whisnu memilih untuk mengakhirinya dengan cepat. Terlalu cepat. Ia membuat seakan-akan kebenaran berpihak pada sang aku, dan kehidupan sang rayap adalah sebuah kesalahan besar. Pandangan seperti ini sepertinya kurang matang, dan kurang adil. Lebih dari itu, ending seperti ini adalah ending yang terlalu cepat. Kejadian ini mengingatkan saya pada cerpen whisnu sebelumnya tentang air. Dimana ia waktu itu juga cukup sukses mengawali cerpen, menggali tokoh, dan melakukan dramatisasi, namun seperti kehilangan arah di tengah dan akhir cerita.

Ya semoga saja pikiran saya tidak benar. Tapi kalau benar, saya minta whisnu merubah ending cerita ini. Sudah mendekati sukses. Cerpen ini tinggal satu langkah penyelesaian, maka akan menjadi sangat berarti.

2. Mimpi : Menggugah!

Saya sangat menyukai cerpen ini. Entah karena terasa berbeda saja dari cerpen lain, atau karena merasa bahwa ada hal yang baik yang diharapkan dari penulisnya. Entahlah. Namun cerpen ini sangat memihak pada kebenaran. Dan saya menyukainya.

Sangat jarang whisnu saya temui menulis dengan simbolisme kental seperti ini. Namun itulah yang terjadi pada cerpen yang berjudul mimpi ini. Bercerita tentang seorang takmir yang gelisah tentang pekerjaannya. Kegelisahan umumnya mahasiswa yang sekaligus bekerja sebagai takmir. Hingga akhirnya sang pemuda menemukan keyakinan setelah pada suatu malam ia bertemu orang yang memberinya nasihat-nasihat.

Meski alur dan konfliknya sangat singkat, hikmah pada cerpen ini sudah menunjukkan sesuatu yang sangat berbobot. Menyentil kita dengan bahasa sederhana. Apakah jika seorang takmir yang bekerja untuk kemaslahatan umat saja mengalami kegelisahan batin yang luar biasa saat menjalani hidupnya, bagaimana dengan kita, yang hanya sedikit sekali dari hidup kita yang kita korbankan untuk kebaikan? Maka pantaslah seorang takmir mendapat kasih sayang Allah dengan diberi mimpi bertemu seseorang –yang sangat mungkin adalah Rasulullah. Sementara kita? Apa yang Allah berikan untuk kita. Mungkin berkutat dalam kebingungan dan kesia-siaan saja yang kita hadapi.

Setidaknya itu dari perspektif yang saya dapati. Selebihnya cerpen ini menggali adegan dan konflik dengan sangat efektif. Selain itu, cerpen ini sangat FLP. Mengingatkan saya pada cerpen-cerpen mas Ahmadun pada awal-awal kebangkitan cerpen islami. Semoga penulisnya tidak sedang dalam kebetulan saja menulis cerpen ini. Amin.

3. Buah : Terlalu Dramatis.

Menurut saya cerpen ini terlalu berlebihan. Apakah benar ada seorang ayah yang betul-betul menginginkan anaknya menjadi pedagang cabai? Meskipun itu adalah bisnis keluarga yang sangat sukses, saya pikir kurang cocok jika ini dibenturkan dengan cita-cita anak yang menginginkan menjadi seorang pembuat kue tart professional. Ini pertanyaan saya sepanjang cerita.

Penggalian tokoh cerpen, sang aku yang bersikeras menjadi professional patut diapresiasi. Whisnu menggambarkannya dengan sangat baik. Begitu pula alur yang dibuat. Pertemuan dengan sepupunya, lalu perjumpaan tak sengaja di rumah ayah, sampai tiba-tiba sang ayah diam-diam memakan kue tart adalah alur yang sangat cantik. Meski demikian, pertanyaan saya tentang bisnis cabai dan apalagi ternyata sang tokoh utama yang diharapkan menjadi penerus bisnis adalah perempuan, membuat saya mengevaluasi kekaguman saya terhadap alur dan penokohan.

Mengapa tidak dibuat lebih sederhana? Misalkan bisnis penjualan sepeda motor. Atau bisnis toko sepatu atau sejenisnya, yang membuat cerita semakin mudah dinikmati. Atau jika tidak diganti minimal dibuat lebih mudah untuk dipahami. Ini adalah masalah logika dalam cerita. Dan saya pikir kekurangan ini dapat diselesaikan jika penulis melakukan riset. Atau mungkin sudah dilakukan? Entahlah. Saya hanya merasa ragu.

4. Gunung : Adakah Dramatisasi?

Saya tidak akan mengomentari cerpen ini. Pada dasarnya saya teringat seorang nenek-nenek di lereng merapi yang dipaksa turun gunung. Namun ini terlalu lumrah. Tidak ada tambahan imajinasi tentang perjuangan atau apapun. Yang ada adalah cerita sang nenek yang dibawa paksa turun, lalu ketika di bawah, di pengungsian, ia mati. Dan itu menimbulkan rasa bersalah pada orang yang pertama kali membawa nenek itu turun. Sudah. Setelah itu selesai. Dramatisasi terasa sangat kurang. Bahkan saya tidak merasakan sang tokoh aku-yang menurunkan nenek dari gunung, benar-benar merasa bersalah.

5. Es : Menuntut lebih Banyak Kata

Usaha untuk mewujudkan konflik kontemporer tentang global warming patut diapresiasi. Namun agaknya membuat cerpen fantasi dalam jumlah kata sesingkat itu terlalu sulit. Terutama menghadirkan tokoh yang benar-benar kuat dan alur yang padat. Cerpen ini sangat singkat, jika dilihat dari pertempuran fisik yang terjadi. Hanya diawali pendefinisian tokoh, pertempuran, lalu selesai dengan kemenangan di pihak yang benar.

Memang ada bagian yang dibangun dengan dramatisasi menarik, saat sang pangeran sekarat dan menolak ditolong putri. Namun cerita ini seakan tenggelam oleh hingar bingar pertempuran yang pendefinisiannya menuntut lebih banyak kata. Inti dari permasalahan adalah cerita yang ingin dibangun terlalu singkat untuk sebuah cerpen sependek ini.

Minggu, 19 Desember 2010

Cerita untuk Membuat Cerita

Ashif A. Fathnan

Apa dan bagaimana fiksi itu? Sekilas kita mendengarnya maka yang terlintas adalah khayalan. Ya, benar. Imajinasi. Namun apakah hanya itu? Setiap tulisan kreatif, entah berbentuk puisi, prosa, cerita, novel, roman, pasti memiliki unsur. Dan unsur itulah, yang dalam cerita, kita sering sebut sebagai : tokoh, latar, alur, konflik, klimaks.

Sebelum lebih jauh, mari kita bahas pangkal dari fiksi itu sendiri. Imajinasi. Dalam teori sastra, ada yang dinamakan dengan realitas imajinatif. Ia adalah sebuah imajinasi, yang disintesa dari realitas. Lebih mudahnya kita bandingakan dengan realitas fakta, yang sering membuat sibuk para wartawan. Dalam dunia pers, realitas fakta menjadi landasan setiap pencari berita untuk menulis beritanya. Mereka menulis berdasarkan fakta yang dilihat oleh panca indera. Sementara penulis kreatif (istilah untuk para penulis yang menulis tulisan diluar tulisan normal, seperti jurnalistik, akademik, professional, teknis.), melandaskan tulisannya pada realitas imajinatif. Memang berdasar realitas, namun diolah oleh imajinasi, diresapi perasaan, diaduk dengan emosi, dan disampaikan dengan gaya bahasa yang bukan biasa – biasa dalam arti kekakuan dan formalitasnya.

Di sinilah unsur-unsur tadi menemukan perannya. Bahwa untuk menulis cerita, dengan imajinasi yang telah kita penuhi dalam otak kita, kita membutuhkan alat, prosedur. Karena pada dasarnya menulis adalah menangkap sebanyak mungkin realita yang ada dengan panca indera, kemudian mengeluarkannya dalam bentuk tulisan. Nah, untuk membentuknya menjadi sebuah tulisan itulah, maka muncul teori unsur dalam cerita tersebut. Tokoh, latar, alur dan konflik. Tokoh harus ada dalam sebuah cerita karena ia yang memunculkan konflik. Tokoh dan konflik harus memiliki latar, dimana dan kapan ia terjadi. Dan tokoh beserta latar akan menggerakkan alur. Maka utuhlah dia sebagai sebuah cerita.

Sebagai contoh mari kita resapi tulisan berikut:

Mereka turun di terminal bus. Ibu menggandeng tangan Ali menuju pintu keluar terminal. Remang senja menyapa jalanan dengan debu kemarau. Hari itu terlihat lengang. Mobil angkutan umum melaju malas beberapa kali dan penjual di emper toko mengantuk melihat dagangannya yang tersapu angin sore. Namun mata Ali berbinar menyaksikan semuanya. Ia menyaksikan kebebasan. Kemerdekaan. (Remah Hati Ali)

Sudah bisa melihat tokoh? Latar? Mungkin juga sudah bisa melihat sedikit alur, namun belum begitu terasa karena belum ada konflik. Kita bisa mengembangkannya.

Lalu, apakah dengan mengetahui ini lantas kita bisa membuat cerita? Saya yakin tidak. Karena membuat cerita atau menulis kreatif adalah sebenarnya proses yang dijalani, bukan dipikirkan. Imajinasi jika hanya dalam kepala maka selamanya akan menjadi imajinasi. Proses menulis fiksi sebenarnya adalah memperjuangkan imajinasi itu sendiri (sebelum perjuangan kemudian untuk membuatnya dibaca dan laku di penerbit). Lalu apa yang pertama kali harus dilakukan untuk membuat cerita? Ini yang seharusnya kita cermati lebih dalam.

Menemukan Ide
Hal yang pertama kali kita lakukan sebelum semua tulisan terlahir adalah menemukan ide. Ide untuk apa kita membuat cerita. Dari mana didapatkan ide? Sangat mudah. Untuk menemukan ide kita tidak perlu membayar. Ia ada di dalam kepala kita, berseliweran setiap saat. Hanya kita yang jarang menemukannya, mengambilnya dan mengolahnya menjadi sebuah tulisan. Anda yang merasa tidak punya ide dan kebingungan, sebenarnya sudah mendapatkan ide cerita, tentang seorang mahasiswa tidak punya ide dan merasa bingung. (Bingung bukan?) Atau, pastilah anda mempunyai memori tentang proses keberangkatan anda dari rumah menuju tempat ini. Maka coba telisik. Adakah yang mengganggu pikiran anda, mungkin sesuatu yang menarik atau aneh? Maka cermati, rasakan, dan renungkan. Itulah proses paling dini dari menulis, meraba alam lewat perasaan.
Untuk itu, maka penulis yang baik haruslah mengasah kepekaannya. Bagaimana mengasah kepekaan? Ada cerita tersendiri mengenai hal ini.

Mengembangkan Ide
Hal yang kedua yang harus kita lakukan untuk membuat cerita fiksi adalah mengembangkan ide. Ya, semudah itu. Kembangkan ide kita, dengan imajinasi, luapkan semua pengetahuan yang kita miliki, gunakan intelektualitas, data, deskripsi, lalu tuangkan dalam tulisan. Selesai. Anda menjadi penulis.

Apakah benar demikian? Secara garis besar memang begitu, namun dalam prakteknya kita harus memperhatikan beberapa hal. Diantaranya kita harus memperhatikan setiap detil ide kita, membuat coret-coretan tentang itu, yang lalu dengannya kita dapat merangkum semua ide itu menjadi sebuah kerangka yang utuh. Nah, inilah yang disebut dengan outline, atau kerangka karangan.

Seperti juga cara penulisan baku pada umumnya, menulis kreatif, meskipun sekreatif apapun, tetap pada dasarnya membutuhkan sebuah kerangka, apalagi jika tulisan yang harus dibuat itu adalah beratus-ratus halaman, seperti novel. Kita harus membuat kerangka. Kerangka tidak perlu terlalu kaku, yang terpenting adalah ia memuat semua lintasan ide kita, dan terstruktur menjadi sebuah alur berpikir yang jelas. Dalam konteks membuat cerita, ia adalah menemukan tokoh, konflik, latar, dan alur secara singkat dan padat, lalu benar-benar menuliskannya secara cepat. Karena perlu kita ketahui, ide itu adalah lintasan pikiran yang cepat dan seribu satu kali akan menjadi seperti itu pula.

Nah, dari sudut pandang ini, pada dasarnya kita menemukan bahwa membuat outline pada tulisan kreatif, mirip sekali dengan membuat peta pikiran. Ada satu tips yang paling jitu dalam tahap ini, yaitu mencatat setiap kejadian yang menarik. Sediakan buku saku dan pena kapanpun dimanapun, dan tulisakanlah setiap ide yang kita temukan, lalu kembangkan ia. Maka inilah bekal paling utama.

Menulis.
Apalagi jika bukan menulis? Ya, proses yang paling dinanti dalam membuat cerita fiksi adalah menulis itu sendiri. Untuk menulis kita tidak perlu berpikir ulang, karena pada dasarnya kita semua sudah bisa menulis dari SD. Yang diperlukan disini adalah tekun, terus-terusan, tidak bosan, berjuang dengan gigih, atau kata apapun yang merangkum keberlanjutan. Karena pada kenyataaannya, banyak penulis atau calon penulis yang gagal menempuh jalur impiannya ketika keengganan mulai merasuki dan membuatnya berhenti menulis.
Nah, untuk itu, tidak perlu dijelaskan bagaimana agar bisa terus-terusan menulis. Teorinya sangat mudah. Temukan alasan yang paling tepat mengapa kita harus menulis. Lalu galilah itu terus menerus. Apalagi? Tentang waktunya? Menulis bisa kapan saja. Yang terpenting adalah menulis harus disiplin. Sekreatif dan nyeni apapun sastrawan dan penulis, ia tetap harus disiplin dengan tulisannya. Biasakan memeberi waktu khusus untuk kegiatan menulis. Pada waktu yang kita relakan, bukan kita sisipkan di sela-sela waktu luang. insyaAllah bagi mereka yang gigih dan tekun menjadi penulis besar adalah satu langkah untuk benar-benar mengukir sejarah. (29/05/10)

Sebuah kutipan yang berguna:
Cerita – dan tulisan kreatif lainnya, karena berbasis imajinasi maka ia diresapi peristiwa sejarah, kenangan dan asosiasi. Memuat juga warisan sosio-kultur masyarakat, penuh homonim, kategori-kategari semau-maunya dan irrasional. Sangat konotatif. Ia tidak hanya menerangkan saja, tetapi mempunyai segi ekspresif, menyampaikan nada dan sikap sastrawan, cenderung bernada personal. Ia tidak hanya menerangkan dan mengatakan apa yang dikatakan, tetapi juga bermaksud membujuk, mempengaruhi sikap pembaca, menggerakkan (to move) perasaan pembaca, dan pada akhirnya berusaha mengubah pendirian. Segala teknik dalam tulisan kreatif diusahakan untuk memperoleh perhatian dan menarik, seperti tampak pada aliterasi, asosiasi, rima, ritma dan sebagainya.

Senin, 13 Desember 2010

Taking Notes and Gathering Information Tips

oleh Dyah Setyowati Anggrahita, 
http://debookbug.blogspot.com/


Sekarang ini saya lagi mempelajari buku berjudul “A Reader for Developing Writers”. Buku terbitan McGraw Hill yang disusun Santi V. Buscemi ini berisi berbagai tips dan latihan agar pembaca bisa mengembangkan kemampuan penulisnya. Saya sendiri berharap dengan mempelajari buku ini—terutama dengan mengerjakan latihan-latihannya—saya bisa piawai menulis non fiksi. Buku ini bisa dipinjam di perpustakaan pusat UGM, depan KOPMA.

Dalam bab “Getting Started”, terdapat tips untuk memaksimalkan kegiatan membaca dan penjelasan tentang proses menulis. Sekaligus merangkum hal mendasar ini, saya juga ingin membaginya untuk teman-teman klub Rabu. Semoga bermanfaat.

Pelajaran pertama yang ingin saya bagi adalah tentang “Making the Most of Your Reading”. Dikatakan bahwa: “Reading and writing are closely related. The more you read, the better writer you will become. The more you write, the easier reading will be. … Reading is a struggle, but it will make you a better thinker and writer.”

Pernah dengar SQ3R? Ini adalah satu metode membaca yang banyak dikenal dan dipraktekkan orang. Tidak hanya dalam buku ini saja saya dijelaskan tentang metode satu ini, tapi juga dalam buku “Speed Reading, Sistem Membaca Cepat dan Efektif” (bisa dipinjam juga di perpus pusat) karangan Soedarso (GPU, 1999). SQ3R adalah:
1.   Survey
Sebelum membaca, survei dulu isi bacaan untuk mendapat gagasan umum apa yang akan dibaca. Prabaca ini dapat juga digunakan untuk menimbang-nimbang apakah bacaan tersebut sesuai dengan apa yang kita butuhkan.
2.   Question
Dari gagasan umum yang sudah didapat, kemukakan pertanyaan-pertanyaan yang kiranya akan bisa ditemukan jawabannya dari bacaan tersebut.
3.   Read
Cukup jelas. Saya sarankan membaca buku tentang membaca cepat karangan Soedarso tadi supaya tahu mana yang patut dibaca dan mana yang tidak dari suatu bacaan.
4.   Reread and take notes (atau Recite/ Recall versi Soedarso)
Berhenti sejenak setelah membaca. Renungkan, apakah pertanyaan-pertanyaan yang diajukan tadi sudah terjawab? Baca ulang dan buat catatan tentang hal-hal penting yang didapatkan dari bacaan tersebut.
5.   Review
Cobalah merespon hal-hal yang dicatat tadi. Cara ini dapat memperjelas pemahaman kita akan bacaan tersebut.

Ini adalah tips untuk tahap nomor 4 dari metode di atas. Taking notes. Saya kira ini bagus juga untuk diterapkan setiap kali kita membaca—di buku milik sendiri tapinya.
  • Peganglah pulpen, pensil, apapun inginmu, saat membaca.
  • Garis bawahi gagasan utama tulisan dan paragraf. Kalau gagasan utama tidak dinyatakan, tulis saja di margin.
  • Lingkari atau highlight-i kata-kata, frase, atau kalimat yang meyakinkan, menyentuh hati, dan semacamnya.
  • Ajukan pertanyaan-pertanyaan mengenai gagasan atau opini penulis (tulis saja pada teksnya), setuju atau tidak?
  • Bubuhkan tanda tanya pada kata, frase, istilah, dan semacamnya yang kurang dikenal.
  •  Paling penting nih katanya, tambahkan kata-katamu sendiri. Kaitkan gagasan dengan dirimu, atau orang-orang yang kamu tahu. Ini bakal menginspirasimu untuk menulis tentang subyek yang sama dengan caramu sendiri.
Apa yang kamu baca bakal penuh dengan coret-coretanmu pastinya. Tapi kalau itu bukumu sendiri, tidak masalah kan?

Setelah mengkaji bacaan dan tergelitik oleh gagasan-gagasan yang didapat darinya, sekarang kita pelajari proses menulis. Ada empat langkah penting dalam menulis, yaitu prewriting, drafting, revising, editing/proofreading. Prewriting sendiri terdiri dari tiga langkah penting yaitu menentukan tujuan menulis, sasaran pembaca, dan gaya tulisan; mengumpulkan informasi; dan membuat kerangka.

Berdasar pengalaman saya, salah satu kendala penting dalam membuat tulisan non fiksi terletak pada tahap mengumpulkan dan mengorganisasikan informasi. Kalau menurut Soedarso, menggunakan satu sumber saja akan memperbesar godaan untuk memplagiasi. Kumpulkan sumber sebanyak-banyaknya agar kita bisa membandingkan gagasan satu dengan gagasan lain dan merumuskannya jadi gagasan kita sendiri. Juga untuk memperkaya fakta dong tentunya, dan sekian manfaat lain.

Namun adakalanya kita terlalu banyak mengumpulkan sumber dan tak punya cukup waktu untuk membacanya—boro-boro mengorganisasi informasi-informasi penting di dalamnya. Masalah ini sudah coba Soedarso jawab dalam bukunya. Kalau dalam bukunya Buscemi sendiri, ada tujuh teknik pengumpulan informasi yang ditawarkan:
1.   Listing
Ini berarti membuat daftar dari hal-hal yang kita rasa paling penting, paling menakjubkan, paling berkesan, paling apalah, yang kita dapatkan dari sumber-sumber kita. Tidak mesti dari bacaan sebetulnya, kita pun bisa membuat daftar mengenai hal-hal apa saja yang kepikiran di otak kita mengenai topik yang akan dijadikan tulisan.
2.   Focused freewriting
Freewriting adalah teknik yang paling lumrah dilakukan untuk mengatasi writer’s block. Teknik ini berarti menyediakan selembar kertas kosong untuk ditulisi apapun yang melintas di kepala selama 5 sampai 10 menit tanpa henti. Seperti itu juga focused freewriting, hanya saja apa yang ditulis dibuat lebih terarah.
3.   Clustering
Ini sebetulnya sama saja seperti listing dan focused writing tadi, hanya saja bentuknya dibuat seperti bagan. Disebut juga mapping atau webbing, siapapun yang sudah tahu konsep mindmapping tentu tahu bagaimana cara mempraktekkan teknik yang satu ini. Seperti tujuan dari konsep mindmapping itu sendiri, gagasan kita dalam bentuk ini jadi lebih terorganisir.
4.   Drawing a subject tree
Kalau clustering bentuknya mungkin seperti jaring, subject tree ini hampir seperti bagan struktur kepengurusan OSIS dengan nama begitu banyak staf berbaris di bawah nama kepala bidangnya.
5.   Brainstorming
Teknik ini dapat dilakukan dengan berbagai cara. Bisa dengan mengumpulkan teman-teman dan meminta mereka urun ide, maupun dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan layaknya wartawan (5W1H).
6.   Interviewing
Kelebihan teknik ini ialah dapat memberikan kita perspektif lain, dan mungkin juga informasi-informasi yang belum pernah kita pelajari.  Ini seperti langkah lanjut dari langkah sebelumnya, brainstorming. Setelah membuat pertanyaan-pertanyaan, kita temui orang yang tahu banyak tentang topik yang akan kita tulis.
7.   Summarizing
Ini berarti meringkas gagasan penulis lain dan menuliskannya dengan kata-kata kita sendiri. Jangan lupa disebutkan sumbernya lo.

Oke, rangkumannya sampai di sini saja dulu. Kalau ingin tahu lebih lengkapnya, silahkan cari sendiri bukunya di perpus pusat, hehehe. Sebagai penutup, ini saya kutip sebuah kalimat dalam buku ini yang menurut saya bagus, “Just remember that writing is a process of discovery; the deeper you get into it, the better you will understand what you have to say.”

Minggu, 12 Desember 2010

Tabiat Pertumbuhan

Salah satu tabiat alam ini adalah pertumbuhan. Bayi lahir dengan mungilnya, kemudian bertumbuh dan bertumbuh terus hingga pada akhirnya menjadi kakek yang bijaksana.  Tentu tidak semuanya demikian. Karena pertumbuhan fisik terkadang tidak berbanding lurus dengan pertumbuhan jiwa. Maka kita akan melihat ada kakek-kakek yang berperilaku tidak beradab, amoral, atau bermacam jenis hal buruk lainnya.

Salah satu tabiat alam ini adalah pertumbuhan. Tidak hanya pada makhluk hidup yang bergerak dengan bebas, tetapi juga pada makhluk hidup yang bergerak tidak dengan bebas. Tumbuhan misalnya. Dari sebentuk biji, atau tunas pada beberapa yang lain, yang rapuh, yang berisiko tinggi gagal hidup, kemudian bertumbuh dan bertumbuh terus hingga akhirnya menjadi sebatang pohon yang kokoh, atau seberkas tetumbuhan yang cantik dan memperindah taman. Tapi, bahkan tumbuhan, juga rawan terserang penyakit dan virus. Hingga pertumbuhan beberapa dari tumbuhan tersebut terhambat sementara beberapa yang lainnya harus dimusnahkan agar virus tidak menyebar.

Salah satu tabiat alam ini adalah pertumbuhan. Bahkan pada hal-hal yang bukan fisik. Penemu-penemu besar di dunia ini mengalami pertumbuhan pemikiran dibarengi dengan pertumbuhan pengalaman. Hingga kegagalan-kegagalan mereka seolah menjadi sel-sel yang menyusun jaringan kesuksesan mereka. Lihatlah Thomas A. Edison. Berapa lama pertumbuhannya, hingga menjadi orang, yang kini dunia akan terus mengenangnya. Pejuang-pejuang besar pun begitu. Sejarah mengenal mereka karena kegigihan mereka melewati ujian-ujian besarnya. Ujian yang menjadi batas apakah mereka layak dikenang dalam sejarah ataukah hanya menjadi segolongan orang biasa, atau bahkan ekstrimnya, menjadi sampah sejarah. Ujian tersebut bisa berupa kekalahan, atau kegagalan strategi perjuangan, atau pengusiran, atau pengkhianatan, atau penolakan, atau bisa jadi bentuk-bentuk lainnya. Dalam kegigihan melewati ujian tersebut mereka bertumbuh, menjadi istimewa. Muhammad sang Rasul adalah contoh sempurna dari semua pejuang ini. Terlepas dari takdir kemenangan yang melingkupinya-wallahu a’lam, ilmu kita sangat sedikit tentang itu-, beliau telah mewariskan pada umatnya tentang tabiat alam bernama pertumbuhan. Bahwa agama yang beliau bawa diperjuangkan dari keadaan ditolak manusia pada umumnya, kemudian bertumbuh dan bertumbuh terus hingga kini dianut oleh sebagian lebih penduduk dunia. Dan agama itu masih terus bertumbuh.

Salah satu tabiat alam ini adalah pertumbuhan. Pun pada hati manusia. Setitik noda yang tidak segera dibersihkan, saat demi saat, akan mendapat tambahan noda-noda lainnya. Kita dapat mengatakan bahwa noda itu mengalami pertumbuhan. Dari tiada, kemudian sedikit, bertambah dan terus bertambah, hingga kemudian menjadi banyak. Lalu manusia menjadi terhenyak, kenapa pada waktu-waktu terakhir umurnya, hati tidak merespon terhadap perilaku-perilaku buruk dan kesalahan-kesalahan cara hidup? Manusia terkaget ketika hatinya terkunci.

Pertumbuhan adalah suatu keadaan, dari tiada, menjadi ada, kemudian sedikit, bertambah dan terus bertambah, hingga kemudian menjadi banyak. Pertumbuhan itu adalah tabiat. Dia netral pada dasarnya. Tetapi dapat diarahkan, entah kepada sesuatu yang bernilai positif, entah kepada sesuatu yang bernilai negative. Pertumbuhan dapat mengarah pada kesuksesan, tetapi dapat juga mengarah pada kegagalan. Pertumbuhan dapat mengarah pada kesucian jiwa, tetapi dapat juga mengarah pada dosa yang bertumpuk. Maka, berdo’alah pada Allah Yang Maha Kuasa agar pertumbuhan kita mengarah pada yang diridhoi oleh-Nya.
Zaf
12-12-2010

Kamis, 09 Desember 2010

let's sing a song!!

Penulis Rabu Senja

Lyrics by Dwitya Sobat Ady Dharma
Munsyid: Semua anggota penulis rabu FLP (masih dipetimbangkan hihi)

Tiada yang kurasa
Selain nikmat-Mu ini
Yang mengalir lembut
Di dalam hati

Ketika aku buka
Lembaran kisah kita
Ada duka dan tawa
Di dalam jiwa…

Reff.
//Menulislah
Sebelum tinta
Itu mengering dan tertutup

//Menulislah
Kar’na sejarah
Takkan pernah terulang lagi

Menulis sampai nanti
Menulis sampai nanti
Kisah Penulis Rabu
Lyrics by Dwitya Sobat Ady Dharma
Munsyid: Semua anggota penulis rabu FLP (masih dipertimbangkan hihi)

Ada sebuah kisah
Yang tercipta indah
Insan yang bertemu
Setiap Rabu

Ilmu yang dikaji
Kami taddaburi
Dan juga membaca
Hasilkan karya

Reff:
//pada pena yang terangkat
Sampaikan kebenaran
Kar’na da’wah bil qolam
telah menjadi piihan kami

//pada pena yang terangkat
Sampaikan kebenaran
Inilah kisah kami
Kisah para penulis Rabu

Senin, 06 Desember 2010

Akhir Tahun Hijriyah, Awal Hijriyah yang Baru

Potongan hidup itu mengatakan hal berbeda, jauh dari apa yang kau bayangkan sebelumnya. Ternyata ia lebih rumit, tak terprediksi, tanpa terduga. Sepertinya memang itulah karakter hidup. Saat kejutan demi kejutan kita maknai sebagai kebaikan. Maka hanya kebahagiaan yang kita rasa.

Hidup ini sangat rumit, karenanya berpijak pada satu pegangan, menggantungkan diri pada Sang Pencipta adalah sebuah keniscayaan yang harus diambil untuk memperoleh kebahagiaan. Ah, padahal kebahagiaan itu sendiri adalah saat kita memang benar-benar dekat pada-Nya, pada Sang Pemula segalanya, pada tempat kembali kita. Maka hidup ini tak lain adalah berjalan dalam bimbingan dan petunjukNya, atau tak ada tempat sama sekali kecuali kesulitan.

Maka mengingat Allah menjadi hal yang harus dipilih dan dilakukan. Mengingat dalam arti sesungguhnya, memaknai, menghadirkan dalam segala kondisi pemikiran. Itulah makna dzikrullah. Dan bukankah hanya dengan itu hidup menjadi lebih tenang, hati menjadi tenteram.

Pada kondisi kerumitan itu, kita melihat diri kita memiliki sesuatu, atau beberapa, yang diberikan. Yang telah ada pada diri kita. Apa gunanya? Apa fungsinya? Itu yang seharusnya kita gali, inilah makna menggali potensi diri. Kemudian mengembangkannya. Untuk suatu tujuan yang juga berakar pada Sang Pemula Segala dan tempat kembali selamanya, yaitu ibadah kepada Allah.

Maka memang sudah keharusan bahwa hidup ini rumit, sehingga kita harus menggantungkannya pada Sang Maha Pemilik Segala. Dan sudah seharusnya bahwa kita memiliki sesuatu dalam hidup, yang diberi, yang menjadi bawaan, ini bisa terus kita kembangkan untuk melakukan proses memberi. Diberi kemudian memberi, ah pantaskah kita menginginkan semua dalam hidup ini? Sangat picik…

Lebih baik memberi, karena tidak ada yang akan kita bawa pulang kecuali apa yang sudah kita berikan. Makna hidup adalah mencari sebanyak-banyaknya hal yang bisa kita berikan untuk mendapatkan ridho Allah. Mencari terus perhatianNya, dengan amal-amal, dengan perbuatan, bukan dengan berkeluh kesah dan berangan-angan. Mari kita songsong hari esok. Ah, betapa indahnya kalimat ini. Selamat datang 1432 Hijriyah...

oleh Ashif Aminulloh  

sudah dr sabtu kmrn kuposting d fb. dimuat di inspirati, jg bbrp portal lain.



http://www.eramuslim.com/oase-iman/ashif-aminulloh-fathnan-akhir-tahun-hijriyah-awal-hijriyah-yang-baru.htm

Minggu, 05 Desember 2010

Ayo!!!

saya sudah mengentri...walaopun dibuat dengan tergesa-gesa karena takut akan ancaman wisnu..tapi silakan saja diambil dan dibaca..
maaf jika banyak kesalahan...

mana yang lainnya....
saya juga sudah kirim ke temen-temen yang lain lewat email
silakan di cek...
sekarang sudah nggak gaptek lagi

sampai ketemu haru rabu
wahai penulis rabu.....^^

“Aish…”


Waktu itu kau katakan bahwa kau telah putus dengannya. Si lelaki keturunan Brunei Darusslam itu. Tapi saat itu juga, setelah makan malam, kau tancapkan gas hingga 100 km/jam hanya karena si lelaki Brunei itu mengobrol dengan sahabat kecilmu yang juga duduk di sebelahmu. Lucu!
Lalu malam itu juga kau mendiamkan sahabatmu itu hingga berhari-hari sampai berbulan-bulan. Anehnya lagi, kau dengan sikapmu yang palsu, berpura-pura tidak terjadi apa-apa, bahkan tak ingin menjelaskan apapun pada sahabatmu itu, hingga kau menemukan mainan lelaki yang baru lagi.
Kali ini, sudah diduga, kau tak akan pernah mengenalkan lelaki Indonesia tulen yang kaya raya itu dengan sahabatmu lagi. Bukankah kau cukup pintar untuk belajar dari pengalaman?
Sampai akhirnya kau berlebihan. Demi si lelaki tulen yang gedongan itu, kau melepaskan semuanya. Melepaskan teman- temanmu, sahabatmu, orang tua, agama, norma, bahkan pakaianmu. Kau bukan lagi seorang pengahafal surah Yasiin seperti yang dikenal oleh si Brunei. Kau bukan lagi sahabat dari sahabat polos yang tak tahu jalan pikiran sempitmu. Kau bukan lagi seseorang yang dicintai oleh semua orang. Yang mencintaimu hanya dia, lelaki bermulut penuh cinta bagaikan busa di lautan.
Lalu kau sekarang di sini? Menyedihkan.
Duduk di sebuah ruang sempit berukuran 2 x 4 meter dengan lampu temaram tanpa tegangan listrik stabil. Ditemani sebuah kursi, meja, lemari kayu, dan dipan besi dengan kasur tipis serta bantal lapuk di atasnya. Berantakan. Berpakaian selembar kain yang bermodel layaknya baju mainan Barbie anak jalanan yang tak menutupi aurat, seperti yang sering kau kenakan dulu. 
Sesekali mengerdipkan kelopak matamu perlahan, tersenyum dan datar kembali. Mulai hari itu, saat kau memutuskan menaggalkan semuanya. Kau merasa mendapat hidup yang baru. Kau menikmati segala kenikmatan dunia yang kau inginkan. Tak ada lagi sahabat kecil yang sekamar denganmu dan yang selalu mengingatkanmu. Membuangnya layaknya sampah telah jadi keputusanmu sejak hari itu.
Sampai dua tahun setelah kau menempuh hidup barumu yang tak resmi. Orang tuamu bahkan kekeringan air mata karenamu.  Kau bertengkar hebat dengannya. Di pinggir jalan, memilih sebuah jembatan yang cukup sepi. Berkata perlahan padanya bahwa kau ingin dinikahi secepatnya. Mana mungkin, lelaki gedong yang berengsek seperti dia bersedia? Menikah dengan gadis tak perawan dan tak beragama lagi sepertimu? Mustahil.
Beradu mulut, yang dibarengi air yang memaksa untuk keluar dari sela bola matamu. Dia ngotot, begitu juga kau. Hingga berkahir dengan sebuah keputusan yang membuatmu tertunduk. Mengiyakan permintaan bejatnya sekali lagi, meniadakan penyebab dari pernikahan kalian pada dokter kandungan ilegal.
Mulai saat itu, sakit yang teramat sangat kau rasakan dalam hidupmu, mengiris-ngiris rahim dan kemaluanmu tanpa jeda. Meminta pertanggungjawabanmu sebagai wanita yang masih punya air mata untuk ditumpahkan. Tak ada lagi kehidupan untukmu. Tak ada orang tua yang ada di sampingmu. Kau bahkan tak tahu bagaimana reaksi mereka jika kau menceritakan yang sebenarnya. Tak ada lagi lelaki gedong yang kau banggakan. Hanya ingin menemui sahabatmu itu. Hanya terpikir dengan sahabat yang kau buang dua tahun lalu. Hanya ingin melihatnya,  memeluknya, menangis di depannya, menatap matanya yang teduh, sekamar lagi denganya dan bercerita menjelang menutup mata di sampingnya.
Sahabatmu tak terdeteksi batang hidungnya. Sahabat yang kau pilih sejak sekolah menengah itu dengan mudah kau tinggalakan demi lelaki yang tak jelas lari kemana. Demi hidup baru yang kau anggap lebih menyenangkan. Lalu kini kau mulai mencarinya. Sahabat yang ada setiapa kali kau sedih atau suka. Kau mengingat memori lama tempat tinggalynya, tapi entah sudah pindah kemana, tak ada nomor hape, tak ada account di jejaring sosial. Kau ketakutan, sendirian. Di dunia yang tak sama sekali kau kenal.
Hingga kau lelah. Ingin sekali menumpahkan segala sampah yang ada pada dirimu. Ingin sekali bertemu dengannya hingga setiap malam bermimipi tentangnya. Mimpi tentang masa lalu kau dan dia saat tertawa berjalan di koridor sekolah saat kau lulus. Tertawa saat kau dan dia tidur dia atas satu dipan melihatnya menggambar burung jelek di atas udara. Tertawa saat kau dan dia makan bersama hanya dengan sambal di tenpat perantauan. Kau merindukan itu. Kau ingin bertemu denganya, hanya dia, sahabatmu.
Kau ingat saat kau mengirimkan sms yang terakhir untuknya. Bahwa kau ingin dia tak lagi mencampuri hidupmu. Bahwa kau tak lagi ingin satu kos dengannya. Dia mencarimu, di kampus, di kos, di setiap rumah teman dekatmu. Kau melihatnya, mencarimu dengan kalang kabut di kampus, bersembunyi di kejauhan, kau menghindar. Kau melihatnya saat ia bertanya pada temanmu di depan pintu, bersembunyi di balik jendela, kau menghindar. Kau menerima, pesan e-mail yang berulang kali dia kirimkan pada account-mu, kau hapus dengan sadisnya.
Kini semua orang berubah menjadi dia di matamu, “Aish, Aish!!”, kau panggil nama itu pada semua orang yang kau temui. Wajahnya ada dimana-dimana setiap kali kau membuka mata. Belum lagi suara tanggis bayi yang sering kau dengar di kamarmu sejak kau menghancurkannya. Atau darah yang kau lihat mengalir dari selangkanganmu. Membuatmu lemas.
Hingga kau ada di sini. Kau lelah mengatakan bahwa kau tak gila. Kau hanya ingin bertemu Aish. Hanya di yang bisa menghentikan suara bayi yang menangis di kamarmu. Hanya dia yang bisa membantumu membersihkan darah yang berceceran di tubuhmu, hanya dia yang bisa memelukmu dan menghapus air matanmu. Kau hanya ingin bertemu Aish dan membiarkannya melihat keadaanmu. Membiarkannya kembali padamu lagi, seperti dulu. Kau mengatakan itu berulang kali pada mereka yang menyeretmu, mengikat tangan dan kakimu, menyakiti tubuhmu dengan jarum suntik, kau telah mengatakannnya berulang kali, mereka tetap tak mau dengar.
***
Aku masih ada di sekitarmu, aku melihatnmu menangis di jembatan malam itu. Aku tahu sesuatu yang selama ini aku takutkan benar terjadi padamu. Aku melihatmu dari balik kaca mobilku yang berjarak 10 meter dari kau dan Edi. Aku menangis, bersamamu. Merasakan kesendirianmu saat itu. Aku ingin menemuimu, saat itu juga. Ingin memelukmu, menghapus air matamu dan menghajar Edi di depan matamu. Mengatakan padamu untuk meninggalkan lelaki sialan itu.
Tapi saat itu aku teringat apa yang kau katakana padaku. Aku ingat saat melihatmu melintas di balik tembok dan menjauhiku. Teringat saat melihat bayanganmu yang ada di balik jendela. Teringat betapa kau telah berbuat kejam padaku. Membuatku hilang tanpa arah, kalang kabut, bingung dan sendirian. Sedangkan kau bersenang-senang dengan lelaki itu. Lelaki yang juga pernah meniduriku. Kenapa kau tak percaya padaku, aku benci padamu saat itu. Saat kau menuduhku berbohong dan mengira aku ingin merebutnya dariku. Aku benci padamu!
Aku ingin kau menderita, seperti aku. Aku ingin kau merasakan kesendirian yang mengeitariku setiap kau tidak ada. Aku ingin kau menderita, bahkan lebih menderita dibanding aku.
Aku senang kau hamil, karena aku tahu lelaki itu pasti akan meninggalkanmu. Menyisakan sakit yang luar biasa pada tubuhmu. Lalu saat itu mulai aku yang kan melukai jiwamu. Aku melihatmu saat kau mencariku di rumah lamaku. Aku biarkan kau sendirian, supaya kau tahu bagaimana rasanya sendirian tanpa aku. Seperti aku yang sendirian tanpa kau. Aku senang mendengarmu memanggil orang lain dengan namaku. Supaya kau juga merasakan betapa malunya aku saat memanggil orang lain dengan namamu.
Aku ingin kau merasakan deritaku. Saat mobil yang kukendarai meremukkan tulang-tulangku. Itu Karena aku memikirkanmu, memikirkan bagaimana nasibmu tanpa aku. Memikirkan bagaiman nasibku tanpa kau.
Aku ingin melihatmu menderita terbaring sendirian tak berdaya. Dengan tetap memikirkanku. Seperti aku yang memikirkanmu hingga akhir nafasku. Aku ingin kau tak akan bisa melihatku hingga akhir nafasmu pula. Seperti aku yang ingin sekali melihatmu hingga ajal menjemputku.
Aku senang, karena kau telah mengalami seluruih penderitaan yang aku alami. Sampai kapanpun kita kan mengalami hal yang sama dalm hidup ini. termasuk juga saat ini. Aku ingin kau mati tidak tenang. Seperti aku yang kini menemanimu di kamar ini. Duduk di sampingmu dalam satu dipan seperti dulu. Walau kau tak merasakan. Menatap wajahmu yang pilu, walau kau tak bisa melihatku. Aku ingin kau mati, mati tidak tenang karena tak bisa melihatku lagi. Karena hanya itu yang bisa memebuat kita kembali bersama, seperti dulu. Sahabat sampai mati. 

Ana, Jogja, Des 2010

Kawan Sepermainan


“Ceritakan padaku sebuah cerita!” Pintanya.
Lalu aku terdiam. Mengingatnya kembali.
Kalian boleh panggil aku Ade. Dulu orang sering memanggilku Bendot. Sebenarnya rindu juga dipanggil dengan nama itu. Aku juga senang dipanggil dengan nama itu. Semacam panggilan kesayangan dari orang- orang tersayangku. Tapi sekarang bukan lagi. Panggilan itu memang aku rindukan, tapi membuatku sakit setiap kali mendengarnya. Makanya, kalian panggil saja aku Ade.
            Kalian pasti tahu Merapi, bukan? Gunung yang paling aktif di dunia itu sempat menjadi pusat perhatian dunia lima tahun lalu. Tepatnya 26 Oktober, akhir 2010.
            Kalian tahu, mengapa aku ada di sini?  Tempat ini dulu kampung halamanku. Tujuh kilometer dari puncak gunung megah ini. Masih teringat jelas apa yang terjadi di tempat ini lima tahun lalu.
            Aku lahir di sini, bersama gunung itu. Bapakku juga, pamanku, sepupuku, begitu juga kakek dan buyutku. Dan aku akan tetap di sini, bersama gunung ini. Dengan caraku sendiri, membersamainya. Menghirup udara dari pohon-pohon besar di sini. Meminum air dari mata airnya. Bermain diantara pepohonan dan pasir di gunung ini. Tanah kelahiranku.
            Aku masih ingat sewaktu berjalan di pagi buta, menyambut mentari yang menyembul dari gunung ini. Menyambut dan tersenyum pada gunung yang gagah di mataku. Pasir hitam yang ada di sisinya memantulkan cahaya surya sampai batu- batu yang ada di kakiku. Menemaniku menyusuri jalan berbatu menuju sekolah dasar yang sederhana di kaki gunung ini.
            Jujur saja, aku sangat mengagumi gunung ini. Mengagumi keindahnnya yang menyilaukan. Mengagumi keangkuhannya pada keraton dan ratu pantai selatan. Mengagumi raungannya saat sedang marah atau sakit. Aku mengaguminya sampai detik ini. Mengaguminya bahkan setelah yang ia lakukan padaku. Termasuk malam itu.
            Merapi berstatus ‘WASPADA”. Aku sudah dengar kabar itu. Aku juga tidak tinggal diam dan langsung menuju kampung halamanku. Di sana sudah berkumpul seluruh keluarga. Aku senang melihat semua berkumpul di rumahku. Melihat wajah mereka yang bercanda riang dalam suasana yang cukup mencekam. Kami memang hanya berkumpul. Tidak segera pindah ke rumah orang lain yang berada di kaki gunung yang lebih bawah. Bukannya malas mengemasi barang-barang yang sulit dikemas atau karena takut meninggalkan sawah, kebun dan hewan ternak yang melimpah di tanah buyutku ini. Bukan pula karena membangkang pada perintah pemerintah yang bubrah, melainkan semata- mata karena kami sudah terbiasa dengan kelakuan teman kami yang satu ini.
Gunung yang cukup terkenal di dunia itu sudah aku anggap sebagai teman. Aku bahkan menganggapnya sebagai manusia. Dia memiliki tubuh dan jiwa, dia juga hidup dan bernafas. Dia memiliki tubuh yang cukup kekar dan gagah, mana mungkin dia tidak marah jika ada yang mencubit tubuhnya atau bahkan berusaha melukai tubuhnya itu. Dia juga memiliki jiwa yang lembut sekaligus tegas. Ia akan bersikap lembut pada orang yang baik padanya, tapi ia juga akan sangat bersikap tegas bahkan mungkin marah pada orang yang berniat buruk dan berusaha memanfaatkannya untuk hal yang buruk.
            Ia juga bisa sakit, ia paling sering bersendawa atau terbatuk-batuk. Kalau sudah batuk-batuk seperti itu, aku langsung pulang ke kampung halamanku. Kadang alasannya bukan karena khawatir atau bagaimana, tapi lebih karena aku ingin melihat seluruh keluarga berkumpul di rumahku. Dulu pun aku sempat berpikir untuk berterimaksih pada teman gagahku itu. Aku terkadang senang saat ia sedikit sakit atau menghembuskan nafas panasnya yang membumbung di udara, karena dengan itu seluruh keluargaku akan berkumpul di rumah. Sekedar berjaga-jaga dan reuni keluarga besar kami yang riuh.
Kalian tahu? Rasanya luar biasa saat melihat seluruh keluarga berkumpul dalam satu rumah? Ada anak kecil yang berlarian, para simbah yang hanya duduk diam di kursi sambil melihat anak cucunya duduk lesehan di bawah. Melihat TV atau sekedar mengobrol membicarakan ternak atau harga pasar saat itu. Lalu aku datang, biasanya di malam hari, membuka pintu rumah, disambut seluruh wajah mereka yang tersenyum padaku, menyambutku. Sungguh, euforia yang luar biasa. Yang mampu membuatku bertahan hingga saat ini, mampu membuatku bangun dari tidurku dan bersemangat setiap hari hingga aku tertidur lagi. Hanya kenangan dari wajah mereka. Hanya itu.
            Waktu itu sakitnya cukup parah, sepertinya sakit kronis yang menjangkiti tubuh dan jiwanya. Tubuhnya sakit, juga perasaanya. Dia marah dan mengamuk. Dia tak lagi mengenal lawan atau kawan. Dia bahkan tak mengenaliku lagi! Aku juga tak mengenali dia lagi! Aku pun marah padanya saat itu. Baru dua jam aku kembali ke kosanku di tengah kota Jogja. Dia telah merubah statusnya menjadi “AWAS”. Aku sedikit terkejut. Aku melihatnya dari jarak 30 km dari balkon kos-ku.
            Aku menatapnya tajam, dia diam saja, bahkan tak menoleh ke arahku. Dia memalingkan wajahnya dan tak membalas tatapan mataku. Saat itu aku tahu, ada yang menyakiti hatinya, dia kesal juga marah. Ingin balas dendam, tidak lagi seperti temanku. Bukan teman yang menemaniku bermain saat kecil dulu. Dia juga sudah tumbuh dewasa sepertiku. Dia sekarang sudah bisa sedih, bisa marah, dan balas dendam.
            Sungguh sakit rasanya jika kalian merasakan juga. Kehilangan sahabat yang kalian kenal sejak kalian lahir. Sahabat yang selalu kalian lihat saat bermain, tidur, mandi, mencuci pakaian, makan, dan saat kalian pergi berpetualang. Lalu tiba-tiba sahabat itu berubah, pergi dan tak ingin menyapamu lagi! Aku kecewa. Aku tahu ia menyimpan sesuatu di hatinya. Aku ingin mendengarnya mengeluh seperti biasa. Tapi ia memilih menyimpannya, membiarkan emosinya memuncak terhadap semua orang. Saat itu, waktu aku melihatnya dengan mata telanjang, aku sudah tahu, aku mulai gemetar. Mulai sadar, kali ini dia tidak main-main.
            Aku segera turun dari balkon, mengambil tas di kamar. Pukul  15.48. Aku ingin melihat keluargaku di sana. Aku tahu mereka tidak akan turun hanya dengan batuk itu. Mereka pasti tidak menyadari kemarahan yang dipendam Merapi jika tak melihat wajahnya. Meraka pasti tidak tahu sehabatku itu sedang murka. Mereka pasti masih di rumah. Aku melaju dengan kecepatan 80-100 km per jam. Menuju rumahku, menuju keluargaku.
            Sempat aku dihalangi beberapa petugas yang menjaga di pinggir jalan. Aku menolak, ku katakana pada mereka keluargaku masih di atas. Mereka tetap melarangku, menghardikku. Aku ngotot di atas motor, tak juga didengarkan, katanya demi keselamatanku. Masa bodoh! Kataku. Mereka bilang, biar mereka saja yang menjemput mereka. Bagaimana caranya jika tanpa aku, mereka bahkan tak tahu dimana rumahku. Aku beradu mulut, dianggap keras kepala dan bodoh. Tapi aku tahu bukan mereka yang sanggup menghalangiku. Satu- satunya yang bisa menghentikanku hanya  sahabat kecilku, Merapi, yang sedang mengamuk.
Aku terus melaju motor menuju rumah, tak menghiraukan mereka mengikutiku dari belakang atau tidak. Hanya ingin melihat mereka, keluargaku selamat. Entah hanya perasaanku saja yang kalut atau bagaimana. Aku merasa suasanya di sekitarku mulai gelap, entah mendung atau abu vulkanik yang membumbung. Saat aku mendengar bunyi gelegar besar yang diperdengarkan oleh benda megah yang sedang kudaki. Aku tidak berhenti, justru semakin kencang memaju motorku. Tiba- tiba aku disergap asap putih layaknya asap pembakaran sampah, melihat beratus meter di depanku asap hitam- kelam dengan ketinggian puluhan meter siap menggulung tubuhku. Aku menghentikan motorku, masih teringat keluarga yang ada di atas sana. Tapi rasa takut merasuk dalam dadaku, berdesir, gemetar, aku mungkin sudah gila berada di sini.       Aku seperti melihat tangan-tangan sahabatku itu, tangan-tangan malaikat Izrail yang ingin mencabut nyawaku. Akhirnya aku bisa merasakan sangat dekat dengannya setelah sekian lama berteman. Merasakan sedikit hawa hangat yang mulai menyentuh kulit dan mataku, perih sekali. Tak sempat lagi berpikir, turun dari motor dan masuk ke lubang kecil pinggir jalan. Sangat cepat, dan semua menjadi gelap.
            Malam itu ia meluapkan amarahnya, menyapu rata kampungku, keluargaku.
Saat terbangun, aku telah berada di sebuah ruangan yang sangat ramai. Samar-samar kulihat banyak orang berlalu lalang di sekitarku. Semua yang kulihat merintih kesakitan. Tubuhku tak terasa ada di tempatnya, sulit menggambarkan rasa sakit waktu itu. Aku mengingat kembali yang terjadi padaku. Aku ingat saat melompat ke dalam selokan kecil, merangkak buta ke dalam hingga tak melihat cahaya dan terpejam.
            Aku masih ingat tentang keluargaku. Aku masih merindukan mereka, wajah meraka. Bagaimana nasibnya?
Aku masih di tempat yang sama. Sampai dikunjungi keluarga jauh di Purwakarta. Belum tahu kabar mereka. Waktu aku dengar sahabatku itu mengamuk lagi mengibas-ngibaskan nafas panasnya ke segala arah. Meminta 120 nyawa manusia. Belum juga tahu nasib mereka.
Luka bakar 30% di sekujur tubuhku. Hingga aku tahu, kehilangan 12 anggota keluarga. Termasuk orangtua, saudara, sepupu, keponakan, simbah, dan teman kampungku. Yang wajahnya pun tak bisa dikenali lagi. Hanya suasana terakhir saat mereka menyambutku pulang. Itu saja. Kini aku hidup, dengan kenangan wajah mereka, euforia saat membuka pintu,  semangat saat melaju motorku, juga kenangan pelukan hangat dari keponakana kecilku.
            Kini aku berdiri di mantan kampung halamanku. Tapi bukan lagi untuk menemui keluarga tersayangku. Kini hanya dengan seorang temanku dalam rangka pengamatan. Siapa lagi jika bukan kawan lamaku. Bukan lagi sebagai mahasiswa gila yang menerjang- menantang nafas panas kawanku itu, melainkan meneliti lebih dalam sifat asli teman yang kutantang dulu.
            Aku melihat wajahnya, dari sela-sela pohon tempatku berdiri. Tidak lagi seperti lima tahun lalu. Ia tersenyum padaku, atas tingkah jahilnya lima tahun lalu. Ia tak perlu minta maaf padaku, bahkan aku tak pernah menggangapnya bersalah. Aku pun membalas senyumannya.
“Ayolah, ceritakan padaku sebuah cerita!” Pintanya lagi.
Aku tersenyum melihat wajah teman yang sedari tadi berdiri di sampingku. Menungguku bercerita tentang kejadian lima tahun lalu. Aku menggeleng. Kembali menyusuri punggungmu yang tegap. Tak ingin menceritakan hal buruk tentangmu. Biar hanya kalian yang tahu.




Ana, Jogja,
Nov 2010