Mengenai Saya

Foto saya
Yogyakarta, D.I.Yogyakarta, Indonesia
memuat karya random para personil klub Rabu FLP Yogyakarta: Ashif, Bunda, Dyah, Whisnu, Sobat, Ana, Dwi, Rizko, dan Lido.

Selasa, 21 Desember 2010

Antara Ending dan Dramatisasi

Reveiw Kumcer Vulkano
Ashif A. Fathnan

1. Serangga : Antara Ending dan Dramatisasi.

Serangga adalah cerpen surealis yang menarik tentang kehidupan kutu buku dalam makna konotatif dan kutu itu sendiri dalam makna sesungguhnya: rayap.

Dramatisasi, alur dan penokohan sangat mendominasi cerpen ringkas ini. Sang tokoh utama, aku diceritakan adalah pencinta dan penggila buku, yang sepertinya memang terlahir demikian. Ayah dan ibunya yang adalah pencinta buku memberikan warisan beratus buku di rumahnya. Dan tentu ini membuat anaknya tidak hanya harus membaca semua buku itu namun juga merawatnya.

Permulaan konflik ini sungguh cantik, diawali dengan hal yang sangat tidak terduga, dan masuk pada inti permasalahan secara langsung : rayap. Siapapun yang membaca dengan penghayatan akan merasaakan pula bagaimana pedihnya mengurusi buku tercinta dan menanggulangi rayap yang tanpa dosa itu. Sama dalam cerita ini, perjuangan diwujudkan dengan melindungi buku dari rayap dengan kapur barus, dan kemudian alat penyemprot serangga. Dramatisasi yang dimunculkan memberikan kesan bahwa sang aku sangat mencintai buku dan berjuang untuknya. Sampai tahap ini penulis sukses besar.

Namun, setelah masuk ke bagian konflik fisik, dimana sang aku harus berhadapan dengan rayap dengan menggunakan obat semprot, saya tidak menemukan dramatisasi itu sesuai dengan imajinasi saya. Ini terlalu cepat dan malah antiklimaks. Apalagi setelah itu yang terjadi hanya ada korban di pihak rayap dan di pihak kita adalah korban buku. Setelah itu? Sudah. Hanya diakhiri dengan teriakan tak jelas sang aku yang meratapi bukunya yang lagi-lagi diserang rayap.

Tidak. Ini bukan ending yang baik menurut saya. Seharusnya untuk menjadikan cerpen ini betul-betul surealis cerita tidak berhenti sampai di situ. Sang tokoh aku perlu lebih menggali konflik fisik dengan sang tokoh rayap. Apakah itu dengan cara tiba-tiba secara imajinasi surreal, sang rayap malah membesar dan berkata-kata seperti manusia setelah disemprot, sehingga terjadi pertukaran pikiran antara rayap dengan sang tokoh aku, ataukah dengan membuat sang tokoh aku mejadi kerdil dan hidup di antara jutaan rayap yang mengelilinginya. Ini butuh dieksplorasi. Kejadian surreal ini perlu digali untuk melengkapi cerpen menjadi benar-benar menggugah.

Namun whisnu memilih untuk mengakhirinya dengan cepat. Terlalu cepat. Ia membuat seakan-akan kebenaran berpihak pada sang aku, dan kehidupan sang rayap adalah sebuah kesalahan besar. Pandangan seperti ini sepertinya kurang matang, dan kurang adil. Lebih dari itu, ending seperti ini adalah ending yang terlalu cepat. Kejadian ini mengingatkan saya pada cerpen whisnu sebelumnya tentang air. Dimana ia waktu itu juga cukup sukses mengawali cerpen, menggali tokoh, dan melakukan dramatisasi, namun seperti kehilangan arah di tengah dan akhir cerita.

Ya semoga saja pikiran saya tidak benar. Tapi kalau benar, saya minta whisnu merubah ending cerita ini. Sudah mendekati sukses. Cerpen ini tinggal satu langkah penyelesaian, maka akan menjadi sangat berarti.

2. Mimpi : Menggugah!

Saya sangat menyukai cerpen ini. Entah karena terasa berbeda saja dari cerpen lain, atau karena merasa bahwa ada hal yang baik yang diharapkan dari penulisnya. Entahlah. Namun cerpen ini sangat memihak pada kebenaran. Dan saya menyukainya.

Sangat jarang whisnu saya temui menulis dengan simbolisme kental seperti ini. Namun itulah yang terjadi pada cerpen yang berjudul mimpi ini. Bercerita tentang seorang takmir yang gelisah tentang pekerjaannya. Kegelisahan umumnya mahasiswa yang sekaligus bekerja sebagai takmir. Hingga akhirnya sang pemuda menemukan keyakinan setelah pada suatu malam ia bertemu orang yang memberinya nasihat-nasihat.

Meski alur dan konfliknya sangat singkat, hikmah pada cerpen ini sudah menunjukkan sesuatu yang sangat berbobot. Menyentil kita dengan bahasa sederhana. Apakah jika seorang takmir yang bekerja untuk kemaslahatan umat saja mengalami kegelisahan batin yang luar biasa saat menjalani hidupnya, bagaimana dengan kita, yang hanya sedikit sekali dari hidup kita yang kita korbankan untuk kebaikan? Maka pantaslah seorang takmir mendapat kasih sayang Allah dengan diberi mimpi bertemu seseorang –yang sangat mungkin adalah Rasulullah. Sementara kita? Apa yang Allah berikan untuk kita. Mungkin berkutat dalam kebingungan dan kesia-siaan saja yang kita hadapi.

Setidaknya itu dari perspektif yang saya dapati. Selebihnya cerpen ini menggali adegan dan konflik dengan sangat efektif. Selain itu, cerpen ini sangat FLP. Mengingatkan saya pada cerpen-cerpen mas Ahmadun pada awal-awal kebangkitan cerpen islami. Semoga penulisnya tidak sedang dalam kebetulan saja menulis cerpen ini. Amin.

3. Buah : Terlalu Dramatis.

Menurut saya cerpen ini terlalu berlebihan. Apakah benar ada seorang ayah yang betul-betul menginginkan anaknya menjadi pedagang cabai? Meskipun itu adalah bisnis keluarga yang sangat sukses, saya pikir kurang cocok jika ini dibenturkan dengan cita-cita anak yang menginginkan menjadi seorang pembuat kue tart professional. Ini pertanyaan saya sepanjang cerita.

Penggalian tokoh cerpen, sang aku yang bersikeras menjadi professional patut diapresiasi. Whisnu menggambarkannya dengan sangat baik. Begitu pula alur yang dibuat. Pertemuan dengan sepupunya, lalu perjumpaan tak sengaja di rumah ayah, sampai tiba-tiba sang ayah diam-diam memakan kue tart adalah alur yang sangat cantik. Meski demikian, pertanyaan saya tentang bisnis cabai dan apalagi ternyata sang tokoh utama yang diharapkan menjadi penerus bisnis adalah perempuan, membuat saya mengevaluasi kekaguman saya terhadap alur dan penokohan.

Mengapa tidak dibuat lebih sederhana? Misalkan bisnis penjualan sepeda motor. Atau bisnis toko sepatu atau sejenisnya, yang membuat cerita semakin mudah dinikmati. Atau jika tidak diganti minimal dibuat lebih mudah untuk dipahami. Ini adalah masalah logika dalam cerita. Dan saya pikir kekurangan ini dapat diselesaikan jika penulis melakukan riset. Atau mungkin sudah dilakukan? Entahlah. Saya hanya merasa ragu.

4. Gunung : Adakah Dramatisasi?

Saya tidak akan mengomentari cerpen ini. Pada dasarnya saya teringat seorang nenek-nenek di lereng merapi yang dipaksa turun gunung. Namun ini terlalu lumrah. Tidak ada tambahan imajinasi tentang perjuangan atau apapun. Yang ada adalah cerita sang nenek yang dibawa paksa turun, lalu ketika di bawah, di pengungsian, ia mati. Dan itu menimbulkan rasa bersalah pada orang yang pertama kali membawa nenek itu turun. Sudah. Setelah itu selesai. Dramatisasi terasa sangat kurang. Bahkan saya tidak merasakan sang tokoh aku-yang menurunkan nenek dari gunung, benar-benar merasa bersalah.

5. Es : Menuntut lebih Banyak Kata

Usaha untuk mewujudkan konflik kontemporer tentang global warming patut diapresiasi. Namun agaknya membuat cerpen fantasi dalam jumlah kata sesingkat itu terlalu sulit. Terutama menghadirkan tokoh yang benar-benar kuat dan alur yang padat. Cerpen ini sangat singkat, jika dilihat dari pertempuran fisik yang terjadi. Hanya diawali pendefinisian tokoh, pertempuran, lalu selesai dengan kemenangan di pihak yang benar.

Memang ada bagian yang dibangun dengan dramatisasi menarik, saat sang pangeran sekarat dan menolak ditolong putri. Namun cerita ini seakan tenggelam oleh hingar bingar pertempuran yang pendefinisiannya menuntut lebih banyak kata. Inti dari permasalahan adalah cerita yang ingin dibangun terlalu singkat untuk sebuah cerpen sependek ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar